Assalamu'alaikum...
 

Saturday, October 5, 2013

Terimakasih Masa Lalu

0 comments
Terimakasih Masa Lalu

Kan ku biarkan kau terbang dari persinggahan hati ini..
Kan ku lepas semua ikat yang mungkin membelenggu..
Terimakasih untuk kasih yang telah terjaga..
Maaf untuk semua luka yang ku buat..

Mungkin cerita kita tak pantas ada.

Cerita ini terjadi sepuluh tahun yang silam, jika menceritakan kepedihan tentu seolah semua pedih yang ada. Namun, ternyata aku mampu melaluinya dengan tegar. Terbukti aku masih bernafas untuk ketiga buah hatiku yang cantik dan tampan. Merekalah yang membuat aku tetap menghirup udara segar hingga kini, merekalah yang menjadi motivasiku melupakan semua kepedihan itu. Aku tidak ingin menyalahkan nasib yang terjadi padaku, semua ini adalah ujian ...kata-kata itu selalu menghibur aku selamanya....

Aku selalu meyakinkan diri, bahwa aku akan tetap berdiri membawa ketiga buah hatiku menjadi orang yang dibanggakan suatu hari kelak. Setiap waktu, dalam selimut kehidupan yang setiap hari berubah aku tidak boleh menyerah karena keadaan. Semua sudah terjadi dan ini adalah keputusan. Sebuah keputusan yang benar-benar telah menjadi pertimbahangan yang matang. Aku harus berpisah dengan ayah dari anak-anakku.

Terlalu banyak kenangan manis untuk di lupakan, empat belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mempertahankan sebuah keluarga yang utuh. Akhirnya, aku tidak dapat lagi mempertahankan semua itu karena suatu sebab yang menyalahi aturan agama manapun.

Masih segar dalam ingatan, peristiwa demi peristiwa berlalu dalam kehidupanku. Malu rasanya menceritakan semua ini dalam bentuk tulisan seperti ini, namun ini akan menjadi pelajaran berharga untuk semua orang. Mengapa aku berkata demikian, untuk mencari pasangan dalam hidup memang dibutuhkan kejelian dari mulai soal agamanya, keluarganya, kehidupannya bahkan harus mengenal siapa sahabat-sahabatnya. Semua membutuhkan observasi secara mendalam.

Aku mengenal dia ketika hatiku terluka, kecewa dan kesedihan yang menggumpal menjadi satu. Malam itu, adikku akan menikah, adikku meninggalkan masa lajangnya mendahului aku. Salah satunya adalah bagian dari kekecewaan itu, maaf...bukan berarti aku ingin menghalangi pernikahan itu, namun tidak adanya pembicaraan antara adikku dan aku yang membuat aku kecewa termasuk juga calon suaminya, seolah aku tidak pernah ada diantara mereka. Saat itulah, kakak angkatku dari luar kota membawa temannya dan mengenalkannya padaku. Dari situlah awal cerita itu terjadi, karena sejak itu teman kakakku selalu datang ke rumah tanpa ku undang. Aku heran, mengapa dia selalu datang kerumah dengan membawa buah tangan untuk keluargaku dan aku. Aku tidak pernah menyadari, jika suatu hari dia menyatakan ingin menikahi aku. 

Aku masih ingat dia datang membawa orangtuanya melamarku, mengatakan ingin mengikatku dengan pertunangan. Aku tidak bisa menjawab, namun kedua orangtuaku yang masih terbilang kolot mengatakan:"Terimalah, karena jika ada yang meminang kita, kita tidak boleh menolaknya." 
Aku penuh dalam kebimbangan, satu sisi aku memang sudah waktunya menikah, karena usiaku sudah dua puluh tiga tahun dan sudah di langkahi oleh adikku pula. 
Aku berpikir,"Mungkinkah ini jodoh aku?"
Sepertinya aku tidak mempunyai pilihan, karena memang aku juga baru beberapa bulan ditinggalkan kekasihku menikah. Ya, kekasihku sejak sekolah itu telah tega meninggalkan aku karena di jodohkan oleh orangtuanya. Malang nasibku waktu itu....dan itu juga bagian dari perasaanku yang terluka dan membuat aku sangat sedih.

Dalam kisaran waktu begitu cepat aku harus menganggukan kepala dan menjawab "iya" pada keluarga yang ingin menjadi suamiku kelak. Dan orangtuanya segera menentukan waktu pernikahan itu, aku hanya diam dan tidak mengerti lagi apa yang harus aku lakukan. Aku hanya pasrah, dan berpikir inilah jodoh itu.
Tahun 1990 aku menikah, dan baru aku tahu mengapa orangtuanya ingin menikahkan aku dan putranya begitu cepat, karena orangtuanya akan berangkat haji. Dan dia ingin tidak terjadi sesuatu pada kami setelah beberapa bulan pertunangan itu, mungkin benar rasa khawatir orangtua terhadap anaknya dan aku memakluminya.

Menjelang keberangkatan orangtuanya, aku menghantarkan beliau sampai ke Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Selang beberapa waktu setelah aku mendengar kalau bapak sudah sampai dengan selamat di Jeddah. Alhamdulillah...pikirku. Aku dan suamiku selalu memantau keadaan Jamaah haji Indonesia khususnya kloter mertuaku. Tiba-tiba terjadi peristiwa yang menjadi peristiwa terbesar di Mina, berdesakannya Jamaah Haji di Terowongan Mina mengakibatkan menimbulkan banyak korban meninggal dunia. Alhamdulillah, beberapa hari memantau perkembangan meninggalnya Jamaah haji Indonesia nama mertuaku tidak ada, walau hatiku sangat sedih banyak jamaah haji Indonesia yang meninggal dunia disana.

Dua tahun pernikahanku, aku mulai mengandung buah hatiku. Disinilah semua mulai terkuak satu demi satu, siapa sebenarnya keluarga suamiku, siapa orangtuanya yang menikahkan aku waktu itu dan siapa sebenarnya suamiku. Aib rasanya aku menuliskan semua ini dalam lembaran kertas tak ternoda ini. 
Kakak angkatku datang dari luar kota, selang waktu makan pagi esok harinya aku bercerita kalau aku sudah menikah dengan temannya (dia tidak tahu jika akhirnya aku menikah dengan temannya). Aku memang tidak memberitahukan kakakku, karena kakakku berada jauh di Kalimantan, waktu itu alat komunikasi tidak secanggih sekarang, dan memalui surat sedangkan kakakku berada di pedalaman Kalimantan. Tiba-tiba kakaku memeluk aku, tak terpikirkan olehku jika kakakku sangat ingin menceritakan siapa sebenarnya suamiku, namun waktu itu aku berpikir, kakaku kangen karena sudah hampir dua tahun tidak pulang sejak membawa temannya dalam pernikahan adikku dulu. Direngkuhnya aku kedalam dadanya begitu dalam, aku heran....karena tingkah kakaku sedikit aneh. Karena bukan sekali ini saja dia pergi ke luar kota dan datang setelah sekian tahun baru kembali. Biasanya, dia akan cerita apa saja yang dia lakukan di kota orang (kakaku bekerja sebagai kontraktor pembukaan lahan baru di desa-desa terpencil). Namun kali ini, tidak seperti sebelumnya. 

"Kak...kenapa kakak memeluk aku seperti ini? ada apa kak?" aku beranikan bertanya soal kenapa kakak memeluk aku. 

Kakakku menghela nafas, lalu bergumam,"kenapa kamu menikah dengan dia"....

Aku mendengar gumaman itu. "Kak kenapa....kakak tidak apa-apa kan?" kataku heran.

Lalu aku ditariknya lebih dekat dengan dia, "De....kamu bahagia menikah dengannya?"

"Kenapa kakak bertanya demikian, aku bahagia kak, mungkin dia jodoh yang Allah kirim untuk aku melalui kakak" kataku....

"Maafin kakak ya de....kakak tidak tahu harus  menceritakan semua ini dari mana" Kakakku seperti bingung.

"Kak...ceritakanlah apa yang ingin kakak ceritakan padaku" kataku 

"Jika cerita kakak buruk sekalipun, tolong beritahu aku siapa suamiku sebenarnya..."lanjutku setengah memohon.

"De...semua sudah terjadi, namun ini memang perlu kamu ketahui. Dan kakak minta maaf, jika waktu memperkenalkan suamimu dulu itu kakak tidak mengira jika akhirnya begini..."kakakku seperti menyesal memperkenalkan aku dengan temannya (yang akhirnya menjadi suamiku)

"Sebenarnya, orangtuanya itu bukan orangtua kandung. Dia hanya diangkat oleh bapak itu, dan orangtuanya ada di Sumatra Selatan. Dan orangtuanya yang ini, mempunyai kelainan jiwa. Dia suka pergi malam hari seperti layaknya wanita dan berkumpul bersama-sama dengan komunitasnya di suatu tempat di Jakarta" kakakku mulai cerita....

Aku hanya diam terpana..."terus kak" kataku...

Kakakku melirikku dengan iba. lalu..."Disana juga awal dia bertemu dengan suamimu, dia merasa suka pada suamimu hingga di bawanya ke rumah dan diangkat menjadi anaknya, dan tak lebih suamimu itu juga sama seperti orangtua angkatnya" kakakku memeluk aku, aku mulai menangis tersedu-sedu. 

"Kakak waktu itu sedang merubah perilaku dia, dan mengenalkan kepada keluarga kakak lainnya termasuk kamu dan ibu bapak juga adik-adik kakak lainnya. Bahwa kehidupan yang dia jalaninya itu salah, dan kakak juga membawa kepada sahabat kakak yang mengerti soal kejiwaan seperti yang dia dan orangtua angkatnya lakukan" lanjut kakakku. 

"Semoga perilakunya berubah setelah menikah denganmu, dek! dan meninggalkan dunianya itu..."setengah berbisik di telingaku....

"Aamiin, semoga Allah mendengar doa kakak ya kak..." Jawabku.

"Kak...aku sedang  hamil empat minggu"kataku, sambil melepaskan kepalaku dari pangkuannya.

"Alhamdulillah....kamu harus menjaga kondisi agar bayimu nanti menjadi sehat" nasehatnya sambil memeluk aku lagi...

Aku mendapatkan kedamaian hati ketika kakak angkat ku pulang, karena aku memang tidak mempunyai kakak laki-laki. Aku seperti mendapatkan perlindungan, walau kakakku jarang sekali dekat dengan kami. Aku bertemu kakak, ketika semasa sekolahnya dulu sering main ke tempat wisata dekat rumahku. Dia mampir sekedar membeli minum atau istirahat di rumah, lama-lama kakak sering rebahan di bale warung. Karena ibuku membuka kedai minuman dan makanan kecil. Setiap orang yang melancong ke tempat wisata pasti mampir ke warung ibu termasuk kakakku. Dan aku masih ingat, usiaku saat itu masih sekolah dasar. Jika hari minggu atau kakak bolos sekolah, pasti ke rumah. Kadang membantu aku mengerjakan PR sekolah, atau sekedar bermain-main saja denganku.

Kehamilanku mulai memasuki angka tujuh bulan, orangtuaku membuat pesta besar-besaran dengan mengundang banyak orang termasuk dari kantor kerjaku (aku kerja pada sebuah instansi pemerintahan). Banyak sahabat dan handai taulan hadir mengucapkan selamat atas kehamilanku. Kakakku tidak bisa hadir dalam pesta itu, karena baru beberapa bulan kembali ke Banjarmasin. Aku mendapatkan kado istimewa darinya,  sebuah bok bayi yang besar. 

Setelah pesta itu, suamiku tidak pulang selama seminggu. Aku gelisah, aku takut jika terjadi sesuatu padanya. Selang kemudian seorang laki-laki datang ke rumahku yang mengaku kakaknya dari Sumatera. Aku bingung, karena aku tidak mengenal keluarga kandungnya. Laki-laki itu bernama Pipin. Kak Pipin langsung pulang dan tidak mungkin menginap di rumah tanpa suamiku. Aku katakan suamiku sudah seminggu ini tidak pulang.
Lalu kak pipin pamit pergi dan akan mencari penginapan di Jakarta.

"Aku mencari tahu pada siapa keberadaan suamiku,"pikirku

Entah kenapa aku ingin mencari suamiku melalui tetangganya di Kampung Melayu. Ada seorang Ibu dan putranya disana yang sudah seperti keluarga dengan suamiku,  dan keluarga ini yang baru diceritakan padaku.  Dan aku pernah di ajaknya silaturahiim kepada keluarga mereka. Aku masih ingat alamat itu, dan aku pasti bisa kesana tanpa suamiku. Lalu aku utarakan niatku itu pada kedua orangtuaku, dan akhirnya mereka setuju untuk mengantarkan aku mencari dimana suamiku sekarang.

Sejak cerita kakakku, seringkali aku hampir tidak tidur nyenyak, namun sedikitpun aku tidak menceritakan hal ini pada ayah dan ibuku. Aku takut, mereka akan salah tafsir mendengarnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi aku bersiap untuk pergi bersama orangtuaku. Menggunakan kereta api aku menuju stasiun Tanah Abang dan menyabung bus kota ke Kampung Melayu. Hampir dua jam perjalanan dengan sedikit lelah karena aku sedang hamil tua, sampai juga aku ke rumah ibu Kampung Melayu. Ibu sangat senang dengan kunjungan kami ketika itu, namun singkat cerita aku menanyakan suamiku apakah selama hampir seminggu ini dia berkunjung kesini. Ternyata tidak ada, aku bingung lagi harus kemana.
Bang Awan, katakanlah nama orang itu. Tiba-tiba dia hadir diantara obrolan kami, dan dia memberitahu kalau suamiku pernah cerita soal sebuah villa di Puncak, Bogor. Alhamdulillah...aku mendapatkan petunuk dan alamat lengkap villa itu. Dan kami segera pamit kepada mereka.

Sekitar hampir jam tiga sore, kami sampai di Villa tersebut. Dengan diantar tiga ojek motor dan jalan sedikit menaik ke perbukitan serta udara dingin sekali mulai terasa sore itu, karena aku dan orang tuaku tidak menggunakan baju hangat. Aku melihat sebuah villa yang tidak begitu bagus, namun sangat luas. Disekitar villa itu ada sebuah rumah kecil, namun terlihat antik dan rapi. Banyak bunga dan tanaman yang baru ditata, mungkin baru penyegaran tanaman begitulah kira-kira menurut aku.

"Assalamu'alaiku....aku mengetok tiga kali pintu rumah itu"....

"Wa'alaikumsalam....."suaranya seorang laki-laki. Dan keluarlah seorang laki-laki hampir sama usianya dengan suamiku. Dan dia bertanya mencari siapa dan dari mana. Tanpa panjang lebar aku memberitahukan bahwa aku adalah istri Herman yang katanya suka kesini, dan ingin bertemu dengannya. 

"Oh...silahkan masuk mbak, bapak dan ibu..."laki-laki itu mempersilahkan aku masuk. Mungkin dia kasihan melihat perutku yang besar berdiri terus di pintu.

"Perkenalkan, saya Rio mbak..." sambil menyalami aku, laki-laki itu mempersilahkan duduk.

Aku menceritakan tujuanku datang kesini. Dan sungguh tak disangka jika cerita yang aku dapatkan membuat aku dan kedua orangtuaku hampir mati berdiri....

"Begitulah mbak ceritanya, saya juga sering memberikan nasehat pada suami mbak. Bahkan saya tidak tahu kalau ternyata dia sudah mempunyai istri yang sedang hamil." lanjut nya

Dengan menahan tangis, aku pamit pulang. Selama dalam perjalanan orang tuaku menyesali semua yang sudah terjadi. Bahkan dia menyesal agar aku menerima pinangannya suamiku dulu. Namun, kedua orang tuaku termasuk tegar, mendengar cerita yang seharusnya tidak mereka tahu tentang suamiku sebenarnya.

**&**

Singkat cerita, aku kini telah mengambil keputusan atas semua perilaku menyimpang suamiku yang tidak berubah. Walau keputusan itu terlambat setelah aku menikah, namun inilah takdir yang aku jalani selama ini.
Alhamdulillah...Allah telah memberikan ketegaran atas cobaan ini.

Semoga cerita ini bermanfaat, dan akan menjadi pembelajaran untuk yang belum menikah....

Jazzakumullah Khoiran Katsiron...













0 comments:

Post a Comment